3 Resep “Mengalahkan” Detikcom

baru saja saya melakukan blogwalk, alias browsing2 cari inspirasi. saya kemudian sedikit berlama-lama di artikel “Mengapa detikcom Mengalahkan Kompas dan Okezone“. saya kemudian menganalisis (ilmiah banget yah kesannya…) tentang keberadaan 7 faktor X yang “menjaga” detikcom. kemudian saya mencoba memberikan resep untuk “mengalahkan” detikcom!

sekedar reminder, saya bergabung di detik pada desember 1999, dan mengundurkan diri pada desember 2001. kemudian pada desember 2004 saya ditarik bergabung kembali, hingga sekarang (sudah 3 tahun berarti).

jadi, saya pernah sempat ngerasain jaman “agak susah” (meski sudah mulai mendingan) ketika detik merintis jalannya. detikcom sendiri lahir pada juli 1998. saya masih ada di detik ketika bubble internet akhirnya pecah dan memakan sejumlah korban situs2 kenamaan ketika itu. “mitra bersanding” detikcom datang silih berganti, sebutlah semisal astaga.com dan satunet.com(saya kaget, baru saja saya buka dan ternyata domain satunet.com malah sudah “for sale”).

kemudian saya sempat 3 tahun (desember 2001 s/d desember 2004) menjadi “orang luar” detikcom. jadi dosen (karena minterin orang is my passion, bikin NGO ICT Watch, garap penelitian ini-itu dengan bayaran dollar he.. he.. he.., yang akhirnya semakin memperluas view saya. jadi saat kembali lagi ke detikcom, saya membawa bekal “pernah” sebagai orang dalam detikcom, dan “pernah” menjadi orang luar.

dari diskusi pada url di atas, sudah cukup balance menggambarkan posisi detikcom di era persaingan saat ini. kini, trah astaga dan satunet tergantikan dengan keluarga kompas-gramedia group melalui kompas.com dan keluarga media nusantara citra melalui okezone.com.

beberapa hal yang ingin saya tambahkan, lepas baju sebagai orang detik, saya melihat detikcom memiliki beberapa faktor “x” untuk bisa bertahan:

  1. consistent. kasarnya, anda akan tetap berada di top of mind khalayak, kalau anda konsisten. either konsisten baik, konsisten buruk, ataupun konsisten untuk tidak konsisten. hehehe… intinya, konsistensi adalah kunci utama. seberapa konsisten detik dan untuk urusan apa, tentu masing2 pembaca akan punya ‘citarasa’ dan ’selera’ masing2, yang kemudian akan membuat detikcom tetap jadi rujukan. apakah itu konsisten ‘nyeleneh’, konsisten ’semau gue’, ataupun konsisten2 lainnya.
  2. Iron Hand. di sini tangan besi bukan dalam artian otoriter atau represif yah. di sini tangan besi dalam makna “tegas dan lugas”. di detikcom, pemilik ya juga board of management, ya sekaligus board of director. bayangkan, yang namanya AR (a.k.a Abdul Rahman - CEO) dan BDI (a.k.a Budiono Darsono - Pemred), itu pemilik detikcom-agrakom, masih suka urun rembug ke urusan printilan. soal salah ketik sampai disain kanal, BDI tidak sungkan2 langsung kasih komando, kalau perlu potong kompas (biar ringkes alasannya). lalu soal duit barang selisih berapa perak, ekstremnya seperti itu, AR ibarat kerberus atau kerberos, penjaga palang pintu dalam mitologi yunani. is it good? i don’t know. but it’s work, at least for detikcom! tetapi baik AR dan BDI, bisa dibuat lebih “adem-ayem” kalau saat berdiskusinya dengan memberikan data penunjang yang valid, kredibel dan aktual, serta diiringi argumen yang clear as crystal. kalau tidak, don’t ever think about it! konon kata salah seorang “orang dalam” yang udah sejak awal ada di detikcom sampai sekarang, BDI itu tipe intuitif (insting), AR itu kalkulatif (itung2an).
  3. Art of Conflict . detikcom, dengan jumlah tim yang cukup banyak (dari redaksi, aplikasi, kreatif, mobile, hrd, support, ob, marketing, promosi, dll), maka konflik adalah hal yang tidak bisa dihindarkan. yang tak bisa bertahan atau kurang piawai mencari selanya, akan mental. yang kuat bertahan, kemudian akan terus melakukan adjustment dengan berbagai strategi. walhasil, kemampuan menyiasati konflik tersebut, atau istilah kerennya ‘management conflict‘, justru menjadi salah satu faktor kekuatan/keunggulan sdm di detikcom, baik ketika mereka masih berkarya di detikcom ataupun ketika mereka dibajak. karena kebiasaan2 kecil untuk melakukan adjustment diri ketika menghadapi konflik, sedikit-banyak akan melatih kemampuan diri untuk lebih peka, kreatif dan pantang menyerah.
  4. Marathon style. yang saya rasakan, detikcom ketika membelanjakan duitnya, lebih bak pelari marathon, bukan sprinter. pelari marathon, tidak buru2 di awal, nafas dijaga, stamina di irit. sebab pada marathon, jarak yang harus ditempuh puluhan ribu kilometer. bandingkan dengan pelari cepat (sprinter), yang jarak yang harus dicapainya hanya 100m. sehingga sprinter sejak awal start, harus mengerahkan seluruh stamina, power dan nafas yang dimilikinya. berlaga di bisnis dotcom, adalah bagaikan berlari marathon. jadi jika ada pelari “dotcom” baru yang ingin ikut marathon, tetapi dengan style ala sprinter (pasang iklan jor-joran, gaji pegawai gede2an, beli server yang tercanggih, dll), maka sudah dapat diprediksi pelari tersebut akan ‘ngos-ngosan’ di awal atau tengah pertandingan, dan terpaksa digotong keluar track alias KO.
  5. No pain no gain. Jangan pernah ngebayangin di detikcom fasilitas berlimpah ruah. lantaran owner detikcom orangnya super irit (cenderung pelit?), maka tidak semua rencana pengadaan suatu fasilitas bisa langsung di-approved. dari sekedar ponsel sampai notebook, dari sdm sampai server. jadi, di seluruh tim (baca: seluruh tim!) yang ada di detikcom terbiasa (dan terpaksa) mutar otak menyiasati keterbatasan fasilitas untuk mencapai hasil dari sebuah tuntutan yang tinggi. akhirnya, seluruh tim terbiasa “ngoprek”, “ngilik” alias “nge-hack” (dalam term positif). yang di hack ya dari soal teknis sampai bisnis, dari soal gaya jualan sampai gaya berita. kalau saya sering bilang, salah satu keunggulan sdm di detikcom adalah “militansi”-nya yang tinggi.
  6. Pride & Proud. Teman2 saya yang masih kerap bertugas melakukan kerja jurnalistik (duh, saya sudah mulai teralienasi dengan kerja2 jurnalistik di lapangan, jadi sesekali memaksakan diri juga untuk tetep melakukan liputan, biar otak gak jadi beku kena AC kantor) sering bercerita tentang harga diri (pride) dan kebanggan (proud) ketika mereka menyebutkan asal media mereka, “saya dari detikcom!”. Seakan kata-kata tersebut menjadi semacam the magical words. Bukan berarti dengan merapal kata2 tersebut kemudian urusan otomatis menjadi lancar. Tetapi dengan mengucapkan, “saya dari detikcom!”, maka tanggung-jawab dan konsekuensinya akan mengikuti. Dibalik kata2 tersebut ada “harga diri” yang harus dijunjung tinggi, untuk tidak dikorbankan lantaran kesalahan prosedur, pelanggaran etika jurnalistik dan lainnya. Pun dibalik kata2 tersebut, masih menurut teman2 saya, ada “kebanggaan”, lantaran nama besar detikcom. Yes, nama besar memang membawa tanggung-jawab besar, dan orang2 yang berhati besar yang mampu memikulnya. Sebab, sekali lancung ke ujian………
  7. Second place is no place. Saya kutipkan saja langsung, “The Law of Singularity – At all costs you should avoid being second in your category. In the real world there is always room for a number two brand. On the Internet there is no intermediary offering you the second choice. “Second place is no place.” (11 Laws of Internet Branding, Al Ries and Laura Ries)

so, itulah 7 faktor x yang dimiliki oleh detikcom. mungkin ada tambahan x lainnya, bisa jadi. jadi kalau saya ditanya (dan cukup sering ditanya), “bagaimana membuat situs (berita) yang dapat mengalahkan detikcom“. maka saya akan jawab, “pertama-tama, pilih salah satu atau lakukan sekaligus 3 kiat ini: (1). ubah alatnya, (2). ganti tujuannya, (3). cari faktor x unik sebagai pendukung”.

  • ubah alatnya: jangan bermain di alat/media yang sama seperti yang digunakan detikcom, cari alat/media lainnya (misalnya membuat media online dengan konten yang spesifik, yang memang tidak/belum dilayani oleh detikcom, atau sekalian tidak bermain di media online)
  • ganti tujuannya: jangan menjadikan detikcom sebagai target pencapaian, cari target lainnya (sebab terlalu terobsesi mengalahkan detikcom dalam waktu cepat, dapat mengaburkan strategi ala “pelari marathon”)
  • faktor x unik: cari faktor x pendukung yang unik dan khas (jangan copy-paste persis disain tampilan, gaya bahasa, serta strategi bisnis dan manajemen detikcom, karena itu sama saja mentransplansikan mentransfusikan darah golongan A ke pasien bergolongan darah B)
Sumber : http://donnybu.blogdetik.com

0 komentar: